MENELUSURI JEJAK LASKAR DIPONEGORO DI PESANTREN (Bagian 1)
4.8.16 artikel islami, islam, sejarah, unik
Bersama Pangeran Diponegoro, para ulama bahu membahu melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Mereka berasal dari berbagai perguruan Islam di wilayah kerajaan Mataram. Para ulama ini menempati posisi vital dalam kesatuan tempur Diponegoro sehingga mampu menggerakkan rakyat untuk berjihad fi sabilillah melawan penjajahan. Setelah pangeran ditangkap, kredo perjuangan diubah dengan berpegang teguh pada QS. Attaubah ayat 122. Perubahan strategi ini dijalankan dengan cara yang khas; dari perjuangan bersenjata pedang, beralih ke perjuangan di bidang pendidikan, sehingga kelak, dari metode ini lahir ribuan pejuang yang bukan hanya mahir dalam berbagai ilmu agama, melainkan juga tangguh di medan perang kemerdekaan.
PENDAHULUAN
Bagi pihak penjajah, Perang Jawa (1825-1830) adalah medan perang mengerikan karena membuat bangkrut pihaknya dan menyebabkan ribuan serdadu koalisi Eropa berkalang tanah di Jawa. Saat itu, Diponegoro didukung oleh barisan bangsawan, milisi lokal (Jawa, Madura, Bali, dan Bugis), serta ribuan santri dan ratusan ulama. Faktor terakhir ini yang membuat Belanda pusing, sebab mereka sadar keberadaan ulama di jantung masyarakat akan membuat bara perlawanan terhadap kolonialisme tetap menyala.
Dalam karyanya, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, Peter Carey menulis, kurang lebih ada 108 kiai, 31 haji, 15 syekh, 12 penghulu Keraton Yogyakarta, dan 4 kiai-guru (mursyid tarekat) yang turut berperang bersama Diponegoro. Yang paling terkenal tentu saja Kiai Mojo, ideolog Perang Jawa yang banyak disebut sebagai penasehat spiritual-intelektual sang pangeran. Menurut sejarawan asal Inggris yang telah meneliti perjuangan Pangeran Diponegoro sejak 30 tahun silam itu, dukungan dari para ulama datang karena sejak kecil Diponegoro sering mengunjungi berbagai pesantren di wilayah Yogyakarta, serta ditempa secara spiritual oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng yang dikenal salehah.
Nenek buyut Diponegoro ini selain dikenal sebagai perempuan yang memiliki pengetahuan agama Islam, juga dihormati karena keperkasaannya saat mendampingi Sultan Hamengku Buwono I ketika berjuang menghadapi Belanda selama Perang Giyanti (1746-1755). Ratu Ageng, yang suka membaca kitab berbahasa Arab dan Jawa, juga menjadi komandan pertama barisan perempuan pengawal raja alias korps prajurit estri, satu-satunya formasi militer yang membuat Daendels terkesan manakala berkunjung ke keraton ini pada Juli 1809. Demikian tulis Peter Carey dalam karyanya yang lain, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855). Carey menengarai, didikan dari perempuan hebat inilah yang membuat Raden Mas Ontowiryo nama kecil Diponegoro mampu berpikir kritis menyikapi dominasi Belanda di keraton Yogyakarta serta membuatnya mampu mengenal dekat jejaring para ulama di wilayah Mataram.
Kelak, jaringan inilah yang menopang perjuangan Diponegoro. Sebagian dari mereka berdampingan dengan kelompok bangsawan di kesatuan tempur Diponegoro. Meskipun bergerilya, pengajian tetap digelar. Beberapa ulama saling silih berganti menjadi pengajar bagi ulama yang lain, dan juga bagi para komandan pasukan. Kiai Mojo, salah satu penasehat Diponegoro, mengajar kitab Fath al-Wahhab karya Zakariyya al-Anshari (w. 926 H) kepada para kiai lain dan juga kepada para komandan pasukan. “Bahkan, kitab fiqh ini dijadikan sebagai rujukan dalam bernegosiasi dengan kompeni Belanda saat mengajukan perundingan damai.” tulis Ahmad Baso dalam “Islam Nusantara: Ijtihad Jenius dan Ijma’ Ulama Indonesia”.
Raden Mas Ontowiryo: Santri Lelana
Di masa mudanya, Raden Mas Ontowiryo memiliki selera keilmuan yang tinggi dibandingkan dengan bangsawan lainnya. Ratu Ageng yang merupakan keturunan Sultan Abdul Qahir, dari Bima sejak awal memilih menyingkir dari keraton yang semakin kuat intrik dan konflik di dalamnya. Ia memutuskan tinggal di sebuah kawasan yang membuatnya leluasa memperdalam ilmu agama di usia senja, menjauh dari hiruk pikuk politik, dan secara khusus mengkader Ontowiryo. Tempat tinggalnya di Tegalrejo didesain dengan unik dan khas. Di saat rumah bangsawan Jawa dibangun menggunakan kayu, rumah Ratu Ageng terbuat dari susunan batu yang rapi, disertai dengan bangunan untuk para pembantu, gudang, lumbung, semacam bangsal luas untuk menampung peserta diskusi. Para ulama kerap diundang untuk bermusyawarah di bangsal yang luas. Pohon-pohon buah juga ditanam mengelilingi bangunan utama yang dilindungi tembok batu. Bahkan, usai Ratu Ageng mangkat, Ontowiryo lebih leluasa lagi merenovasi dan memperluas bangunannya, semata-mata agar para ulama dan santri pengelana bisa lebih leluasa berdoa, belajar, dan berdiskusi.
Ratu Ageng yang merupakan cucu ulama terkemuka, Ki Ageng Datuk Sulaiman Bekel Jamus benar-benar mendidik cicitnya agar senantiasa dekat dengan rakyat, mencintai ilmu, menghormati ulama, serta menempanya sebagai calon negarawan. Ratu Ageng juga telah mendorong para tokoh agama di Yogyakarta agar mengambil tempat di Tegalrejo. Di antara mereka ada penghulu Kiai Muhammad Bahwi, yang kelak dalam Perang Jawa dikenal sebagai Muhammad Ngusman Ali Basah. Sebelumnya ia mengabdi sebagai ketua forum ulama Masjid Suranatan (masjid pribadi Sultan). Tokoh lainnya adalah Haji Badaruddin, komandan korps Suranatan yang sudah dua kali naik haji atas biaya keraton dan memiliki pengetahuan tentang sistem pemerintahan Turki Usmani.
Semakin kuatnya dominasi Inggris dan Belanda di Kesultanan Yogyakarta, pada akhirnya justru menjadikan Tegalrejo sebagai sebuah markplaats, yaitu tempat “menjual dan membeli” gagasan, konsep ideologi, politik, kenegaraan, budaya, militer, rencana strategi dan aksi; tempat berkumpulnya pemimpin masyarakat ketika di Kesultanan Yogyakarta terjadi kekosongan kepemimpinan, serta tempat Ontowiryo alias Diponegoro memperoleh basis legitimasinya melalui pemufakatan sukarela dari kelompok yang berkepentingan.
Di usia yang masih belum genap 20 tahun, Diponegoro mulai mempelajari berbagai cabang keilmuan. Dalam bidang fiqh, dia mempelajari Taqrib karya Abu Syuja’ al-Isfahani, Muharrar-nya Imam Ar-Rafi’i (w. 623 H/1226 M) dan Lubab al-Fiqh karya al-Mahamili (w. 415 H/1024 M). Di bidang politik, dia menggunakan kitab Taj al-Salatin dan Sirat al-Salatin. Karena terkesan dengan dua kitab ini, ia kemudian merekomendasikannya kepada adiknya, calon Sultan Hamengkubuwono IV, manakala sedang ditempa secara intelektual di keraton. Selain itu, Diponegoro mulai menyukai tasawuf dengan mengagumi kitab Topah alias al-Tuhfat al-Mursalah ila Ruh an-Nabi karya Muhammad bin Fadlullah al-Burhanpuri.
Di samping mempelajari kitab-kitab di atas, pangeran juga mempelajari etika seorang negarawan dan ketatanegaraan yang diadopsi dari karya klasik Arab dan Persia seperti At-Tibr al-Masbuk fi Nashihat al-Muluk karya Imam al-Ghazali, dan Fatah al-Muluk, serta berbagai kitab adaptasi karya klasik seperti Serat Rama, Bhoma Kawya, Arjuna Wijaya, dan Arjuna Wiwaha. Selain itu, teks lain yang diajarkan kepada sang pangeran adalah Joyo Lengkoro Wulang yang salinannya pernah ditemukan di markas besar pasukannya di Goa Selarong pada Oktober 1825. Naskah berbahasa Jawa ini menjelaskan aspek-aspek kenegarawanan dalam bentuk kisah seorang pangeran muda yang berkelana (lelono) ke seluruh Jawa dan berjumpa dengan banyak guru sekuler, guru agama, dan guru mistik. Menurut Peter Carey, ini adalah teks yang memiliki daya tarik universal di antara elit keraton, yang menjadi lambang cita-cita pendidikan ideal bagi para kesatria muda.
Dalam Babad Diponegoro, otobiografi yang ditulis oleh sang pangeran, dirinya menceritakan bahwa pada usia 20 tahun, ia melakukan perjalanan lelana dari masjid ke masjid, dan dari perguruan ke perguruan di kawasan Yogyakarta. Maksud utama rangkaian kunjungannya adalah menyempurnakan pendidikan agama serta menemukan guru-guru yang layak menjadi pembimbing spiritualnya. Untuk mendukung langkahnya ini, dirinya menyandang nama baru, yaitu Abdurrahim, yang ia pakai manakala berkelana. Ia juga memotong rambut panjangnya (yang menjadi adat bangsawan saat itu), meninggalkan baju kebangsawanannya yang halus dan berbatik tulis dan menggantinya dengan baju putih tanpa kancing tak berkerah, sarung kasar, serta memakai sorban yang merupakan identitas santri pada saat itu.
Sejak itu mulailah ia menjadi santri pengembara selama beberapa bulan dengan mengunjungi perguruan, masjid, dan pesantren serta merasakan denyut nadi kehidupan para santri di dalamnya. Di antara pesantren yang dia kunjungi, antara lain, Gading, Grojogan, Sewon, Wonokromo, Jejeran, Turi, Pulo Kadang, dan kedua pathok nagari, Kasongan dan Dongkelan, semuanya terletak di arah selatan Yogyakarta.
Usai menjalani perjalanan intelektual-spiritual di berbagai pesantren, dirinya melanjutkan pengembaraannya dengan melakukan laku tirakat dengan cara beruzlah. Tirakat ini memberikan suatu masa sepi saat seseorang membersihkan diri dari pamrih (dorongan hati dan ambisi pribadi tersembunyi). Lokasinya ada di beberapa tempat keramat dan di situ Diponegoro mengalami pengalaman spiritual. Di Goa Song Kamal, di daerah Jejeran arah selatan Yogyakarta, terjadi penampakan Sunan Kalijaga. Saat itu, salah satu dari sembilan Walisongo ini “menampakkan diri” di hadapan Diponegoro dalam bentuk seorang yang bersinar bagai bulan purnama”, sekaligus memberikan kabar jika kelak Diponegoro bakal menjadi raja (ratu). Sesudah menyampaikan kabar tersebut, penampakan sang sunan menghilang.
Usai bersemadi di sini, Diponegoro menyambung pengembaraannya dengan berziarah ke makam leluhurnya di Imogiri, makam para raja Mataram. Di sini, dengan pakaian yang sangat sederhana, dirinya masih dikenali oleh para juru kunci makam yang menghormatinya sebagai calon raja. Kelak, dalam Perang Jawa, para juru kunci makam Imogiri mayoritas mendukung langkah sang pangeran. Di Imogiri, Diponegoro selama seminggu melakukan perziarahan dan semadi. Dari sini, dirinya melanjutkannya pengembaraannya ke pantai selatan dan menginap selama satu malam di Gua Siluman dan Gua Sigolo-Golo alias Surocolo, dua gua yang dianggap keramat bagi banyak orang.
Setelah melakukan semadi di dua gua ini, dirinya melanjutkan perjalanannya dengan mengunjungi Gua Langse selama dua minggu. Di gua ini, sebagaimana pengakuan Diponegoro dalam otobiografinya, dirinya berjumpa dan bahkan berdialog dengan Nyi Roro Kidul. Ini adalah “pertemuan pertama”. Dalam pertemuan berikutnya, berpuluh tahun kemudian, pada saat Perang Jawa berlangsung, sosok misterius yang masyhur dalam legenda Jawa sebagai penguasa Laut Selatan itu menawarkan bala bantuan kepada Diponegoro dengan syarat sang pangeran harus memohonkan kepada Allah agar Ratu Kidul kembali menjadi manusia dan dengan demikian mewujudkan pembebasannya dari nasib. Tawaran ini ditolak oleh Diponegoro, yang beralasan bahwa yang sanggup menentukan nasib hanyalah Allah SWT, serta dirinya tidak memerlukan bantuan dari dunia roh halus dalam peperangan melawan Belanda. Terlebih, sebagai muslim yang saleh, tujuan yang utama selama Perang Jawa adalah kemajuan agama, khususnya “meningkatkan keluhuran agama Islam di seluruh Jawa”, yang mencakup tidak sekadar ibadah Islam yang resmi tetapi juga tatanan moral umum.
Kelak, pengembaraan ini membuat simpul-simpul dukungan terhadap Diponegoro menguat. Sebagai pangeran senior, dia dapat menjalin hubungan dengan kalangan bangsawan; sebagai penganut tasawuf, dia dapat menjalin relasi harmonis dengan komunitas santri dan jaringan sufi; serta sebagai penduduk desa dirinya dapat menjalin hubungan dengan rakyat desa. Sebagai seorang pengecam kondisi di Jawa tengah, dia pun menjadi pusat kesetiaan bagi orang-orang yang merasa tidak puas.
Manakala dirinya memproklamirkan perlawanan terhadap Belanda, maka jejaring sosial yang telah ia bina sebelumnya menyuplai pasukan, logistik, hingga jaringan bawah tanah. Khusus para kiai, Diponegoro banyak didukung oleh para ulama yang berasal dari berbagai pesantren di wilayah Mataram. Laskar santri ini banyak berada di bagian infantri.
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakitmalaria, disentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak", melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu di mana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerrilla warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan (Surpressing). Perang ini bukan merupakan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) di mana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya. Bersambung Ke Bagian 2 ......................
![]() |
sumber: google |
PENDAHULUAN
Bagi pihak penjajah, Perang Jawa (1825-1830) adalah medan perang mengerikan karena membuat bangkrut pihaknya dan menyebabkan ribuan serdadu koalisi Eropa berkalang tanah di Jawa. Saat itu, Diponegoro didukung oleh barisan bangsawan, milisi lokal (Jawa, Madura, Bali, dan Bugis), serta ribuan santri dan ratusan ulama. Faktor terakhir ini yang membuat Belanda pusing, sebab mereka sadar keberadaan ulama di jantung masyarakat akan membuat bara perlawanan terhadap kolonialisme tetap menyala.
Dalam karyanya, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, Peter Carey menulis, kurang lebih ada 108 kiai, 31 haji, 15 syekh, 12 penghulu Keraton Yogyakarta, dan 4 kiai-guru (mursyid tarekat) yang turut berperang bersama Diponegoro. Yang paling terkenal tentu saja Kiai Mojo, ideolog Perang Jawa yang banyak disebut sebagai penasehat spiritual-intelektual sang pangeran. Menurut sejarawan asal Inggris yang telah meneliti perjuangan Pangeran Diponegoro sejak 30 tahun silam itu, dukungan dari para ulama datang karena sejak kecil Diponegoro sering mengunjungi berbagai pesantren di wilayah Yogyakarta, serta ditempa secara spiritual oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng yang dikenal salehah.
Nenek buyut Diponegoro ini selain dikenal sebagai perempuan yang memiliki pengetahuan agama Islam, juga dihormati karena keperkasaannya saat mendampingi Sultan Hamengku Buwono I ketika berjuang menghadapi Belanda selama Perang Giyanti (1746-1755). Ratu Ageng, yang suka membaca kitab berbahasa Arab dan Jawa, juga menjadi komandan pertama barisan perempuan pengawal raja alias korps prajurit estri, satu-satunya formasi militer yang membuat Daendels terkesan manakala berkunjung ke keraton ini pada Juli 1809. Demikian tulis Peter Carey dalam karyanya yang lain, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855). Carey menengarai, didikan dari perempuan hebat inilah yang membuat Raden Mas Ontowiryo nama kecil Diponegoro mampu berpikir kritis menyikapi dominasi Belanda di keraton Yogyakarta serta membuatnya mampu mengenal dekat jejaring para ulama di wilayah Mataram.
Kelak, jaringan inilah yang menopang perjuangan Diponegoro. Sebagian dari mereka berdampingan dengan kelompok bangsawan di kesatuan tempur Diponegoro. Meskipun bergerilya, pengajian tetap digelar. Beberapa ulama saling silih berganti menjadi pengajar bagi ulama yang lain, dan juga bagi para komandan pasukan. Kiai Mojo, salah satu penasehat Diponegoro, mengajar kitab Fath al-Wahhab karya Zakariyya al-Anshari (w. 926 H) kepada para kiai lain dan juga kepada para komandan pasukan. “Bahkan, kitab fiqh ini dijadikan sebagai rujukan dalam bernegosiasi dengan kompeni Belanda saat mengajukan perundingan damai.” tulis Ahmad Baso dalam “Islam Nusantara: Ijtihad Jenius dan Ijma’ Ulama Indonesia”.
Raden Mas Ontowiryo: Santri Lelana
Di masa mudanya, Raden Mas Ontowiryo memiliki selera keilmuan yang tinggi dibandingkan dengan bangsawan lainnya. Ratu Ageng yang merupakan keturunan Sultan Abdul Qahir, dari Bima sejak awal memilih menyingkir dari keraton yang semakin kuat intrik dan konflik di dalamnya. Ia memutuskan tinggal di sebuah kawasan yang membuatnya leluasa memperdalam ilmu agama di usia senja, menjauh dari hiruk pikuk politik, dan secara khusus mengkader Ontowiryo. Tempat tinggalnya di Tegalrejo didesain dengan unik dan khas. Di saat rumah bangsawan Jawa dibangun menggunakan kayu, rumah Ratu Ageng terbuat dari susunan batu yang rapi, disertai dengan bangunan untuk para pembantu, gudang, lumbung, semacam bangsal luas untuk menampung peserta diskusi. Para ulama kerap diundang untuk bermusyawarah di bangsal yang luas. Pohon-pohon buah juga ditanam mengelilingi bangunan utama yang dilindungi tembok batu. Bahkan, usai Ratu Ageng mangkat, Ontowiryo lebih leluasa lagi merenovasi dan memperluas bangunannya, semata-mata agar para ulama dan santri pengelana bisa lebih leluasa berdoa, belajar, dan berdiskusi.
Ratu Ageng yang merupakan cucu ulama terkemuka, Ki Ageng Datuk Sulaiman Bekel Jamus benar-benar mendidik cicitnya agar senantiasa dekat dengan rakyat, mencintai ilmu, menghormati ulama, serta menempanya sebagai calon negarawan. Ratu Ageng juga telah mendorong para tokoh agama di Yogyakarta agar mengambil tempat di Tegalrejo. Di antara mereka ada penghulu Kiai Muhammad Bahwi, yang kelak dalam Perang Jawa dikenal sebagai Muhammad Ngusman Ali Basah. Sebelumnya ia mengabdi sebagai ketua forum ulama Masjid Suranatan (masjid pribadi Sultan). Tokoh lainnya adalah Haji Badaruddin, komandan korps Suranatan yang sudah dua kali naik haji atas biaya keraton dan memiliki pengetahuan tentang sistem pemerintahan Turki Usmani.
Semakin kuatnya dominasi Inggris dan Belanda di Kesultanan Yogyakarta, pada akhirnya justru menjadikan Tegalrejo sebagai sebuah markplaats, yaitu tempat “menjual dan membeli” gagasan, konsep ideologi, politik, kenegaraan, budaya, militer, rencana strategi dan aksi; tempat berkumpulnya pemimpin masyarakat ketika di Kesultanan Yogyakarta terjadi kekosongan kepemimpinan, serta tempat Ontowiryo alias Diponegoro memperoleh basis legitimasinya melalui pemufakatan sukarela dari kelompok yang berkepentingan.
Di usia yang masih belum genap 20 tahun, Diponegoro mulai mempelajari berbagai cabang keilmuan. Dalam bidang fiqh, dia mempelajari Taqrib karya Abu Syuja’ al-Isfahani, Muharrar-nya Imam Ar-Rafi’i (w. 623 H/1226 M) dan Lubab al-Fiqh karya al-Mahamili (w. 415 H/1024 M). Di bidang politik, dia menggunakan kitab Taj al-Salatin dan Sirat al-Salatin. Karena terkesan dengan dua kitab ini, ia kemudian merekomendasikannya kepada adiknya, calon Sultan Hamengkubuwono IV, manakala sedang ditempa secara intelektual di keraton. Selain itu, Diponegoro mulai menyukai tasawuf dengan mengagumi kitab Topah alias al-Tuhfat al-Mursalah ila Ruh an-Nabi karya Muhammad bin Fadlullah al-Burhanpuri.
Di samping mempelajari kitab-kitab di atas, pangeran juga mempelajari etika seorang negarawan dan ketatanegaraan yang diadopsi dari karya klasik Arab dan Persia seperti At-Tibr al-Masbuk fi Nashihat al-Muluk karya Imam al-Ghazali, dan Fatah al-Muluk, serta berbagai kitab adaptasi karya klasik seperti Serat Rama, Bhoma Kawya, Arjuna Wijaya, dan Arjuna Wiwaha. Selain itu, teks lain yang diajarkan kepada sang pangeran adalah Joyo Lengkoro Wulang yang salinannya pernah ditemukan di markas besar pasukannya di Goa Selarong pada Oktober 1825. Naskah berbahasa Jawa ini menjelaskan aspek-aspek kenegarawanan dalam bentuk kisah seorang pangeran muda yang berkelana (lelono) ke seluruh Jawa dan berjumpa dengan banyak guru sekuler, guru agama, dan guru mistik. Menurut Peter Carey, ini adalah teks yang memiliki daya tarik universal di antara elit keraton, yang menjadi lambang cita-cita pendidikan ideal bagi para kesatria muda.
Dalam Babad Diponegoro, otobiografi yang ditulis oleh sang pangeran, dirinya menceritakan bahwa pada usia 20 tahun, ia melakukan perjalanan lelana dari masjid ke masjid, dan dari perguruan ke perguruan di kawasan Yogyakarta. Maksud utama rangkaian kunjungannya adalah menyempurnakan pendidikan agama serta menemukan guru-guru yang layak menjadi pembimbing spiritualnya. Untuk mendukung langkahnya ini, dirinya menyandang nama baru, yaitu Abdurrahim, yang ia pakai manakala berkelana. Ia juga memotong rambut panjangnya (yang menjadi adat bangsawan saat itu), meninggalkan baju kebangsawanannya yang halus dan berbatik tulis dan menggantinya dengan baju putih tanpa kancing tak berkerah, sarung kasar, serta memakai sorban yang merupakan identitas santri pada saat itu.
Sejak itu mulailah ia menjadi santri pengembara selama beberapa bulan dengan mengunjungi perguruan, masjid, dan pesantren serta merasakan denyut nadi kehidupan para santri di dalamnya. Di antara pesantren yang dia kunjungi, antara lain, Gading, Grojogan, Sewon, Wonokromo, Jejeran, Turi, Pulo Kadang, dan kedua pathok nagari, Kasongan dan Dongkelan, semuanya terletak di arah selatan Yogyakarta.
Usai menjalani perjalanan intelektual-spiritual di berbagai pesantren, dirinya melanjutkan pengembaraannya dengan melakukan laku tirakat dengan cara beruzlah. Tirakat ini memberikan suatu masa sepi saat seseorang membersihkan diri dari pamrih (dorongan hati dan ambisi pribadi tersembunyi). Lokasinya ada di beberapa tempat keramat dan di situ Diponegoro mengalami pengalaman spiritual. Di Goa Song Kamal, di daerah Jejeran arah selatan Yogyakarta, terjadi penampakan Sunan Kalijaga. Saat itu, salah satu dari sembilan Walisongo ini “menampakkan diri” di hadapan Diponegoro dalam bentuk seorang yang bersinar bagai bulan purnama”, sekaligus memberikan kabar jika kelak Diponegoro bakal menjadi raja (ratu). Sesudah menyampaikan kabar tersebut, penampakan sang sunan menghilang.
Usai bersemadi di sini, Diponegoro menyambung pengembaraannya dengan berziarah ke makam leluhurnya di Imogiri, makam para raja Mataram. Di sini, dengan pakaian yang sangat sederhana, dirinya masih dikenali oleh para juru kunci makam yang menghormatinya sebagai calon raja. Kelak, dalam Perang Jawa, para juru kunci makam Imogiri mayoritas mendukung langkah sang pangeran. Di Imogiri, Diponegoro selama seminggu melakukan perziarahan dan semadi. Dari sini, dirinya melanjutkannya pengembaraannya ke pantai selatan dan menginap selama satu malam di Gua Siluman dan Gua Sigolo-Golo alias Surocolo, dua gua yang dianggap keramat bagi banyak orang.
Setelah melakukan semadi di dua gua ini, dirinya melanjutkan perjalanannya dengan mengunjungi Gua Langse selama dua minggu. Di gua ini, sebagaimana pengakuan Diponegoro dalam otobiografinya, dirinya berjumpa dan bahkan berdialog dengan Nyi Roro Kidul. Ini adalah “pertemuan pertama”. Dalam pertemuan berikutnya, berpuluh tahun kemudian, pada saat Perang Jawa berlangsung, sosok misterius yang masyhur dalam legenda Jawa sebagai penguasa Laut Selatan itu menawarkan bala bantuan kepada Diponegoro dengan syarat sang pangeran harus memohonkan kepada Allah agar Ratu Kidul kembali menjadi manusia dan dengan demikian mewujudkan pembebasannya dari nasib. Tawaran ini ditolak oleh Diponegoro, yang beralasan bahwa yang sanggup menentukan nasib hanyalah Allah SWT, serta dirinya tidak memerlukan bantuan dari dunia roh halus dalam peperangan melawan Belanda. Terlebih, sebagai muslim yang saleh, tujuan yang utama selama Perang Jawa adalah kemajuan agama, khususnya “meningkatkan keluhuran agama Islam di seluruh Jawa”, yang mencakup tidak sekadar ibadah Islam yang resmi tetapi juga tatanan moral umum.
Kelak, pengembaraan ini membuat simpul-simpul dukungan terhadap Diponegoro menguat. Sebagai pangeran senior, dia dapat menjalin hubungan dengan kalangan bangsawan; sebagai penganut tasawuf, dia dapat menjalin relasi harmonis dengan komunitas santri dan jaringan sufi; serta sebagai penduduk desa dirinya dapat menjalin hubungan dengan rakyat desa. Sebagai seorang pengecam kondisi di Jawa tengah, dia pun menjadi pusat kesetiaan bagi orang-orang yang merasa tidak puas.
Manakala dirinya memproklamirkan perlawanan terhadap Belanda, maka jejaring sosial yang telah ia bina sebelumnya menyuplai pasukan, logistik, hingga jaringan bawah tanah. Khusus para kiai, Diponegoro banyak didukung oleh para ulama yang berasal dari berbagai pesantren di wilayah Mataram. Laskar santri ini banyak berada di bagian infantri.
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
![]() |
Sumber: google |
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakitmalaria, disentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak", melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu di mana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerrilla warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan (Surpressing). Perang ini bukan merupakan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) di mana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya. Bersambung Ke Bagian 2 ......................
Ditulis Oleh : Rijal Mumazziq Z
Dosen Tetap STAI Al-Falah As-Sunniyyah Kencong Jember
Dosen Tetap STAI Al-Falah As-Sunniyyah Kencong Jember
Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Share on LinkedIn
0 Response to "MENELUSURI JEJAK LASKAR DIPONEGORO DI PESANTREN (Bagian 1)"
Post a Comment
Pembaca yang Bijak adalah Pembaca yang selalu Meninggalkan Komentarnya Setiap Kali Membaca Artikel. Diharapkan Komentarnya Yah.....