
Banyak orang tidak merasa bahwa dirinya rasis. Sekalipun seseorang adalah orang baik, santun, taat beragama, bahkan kalau diwajibkan sembahyang sepanjang hari pun akan dia lakukan -- ringan tangan dan suka membantu, murah hati ... Semua kualitas seperti itu tidak akan menjadi jaminan seseorang untuk tidak menjadi rasis.
Salah satu elemen paling dasar rasisme adalah persoalan 'merasa berhak' (entitlement). Ini yang menjadi pembeda dari mereka yang tidak memiliki hak. Ketimpangan antara berhak dan tidak berhak ini, yang jika dipadukan dengan perbedaan entah warna kulit, bentuk rambut, bentuk mata, dll. yang membuat rasisme. dan rasisme bekerja membentuk gambaran (profile) yang akan mendiskualifikasi orang sebagai ras yang lebih rendah, atau secara moral tidak mampu.
Di Amerika, banyak orang kulit hitam menjadi korban penembakan oleh polisi. Persoalan yang remeh, seperti lampu belakang mobil tidak menyala, bisa mencabut nyawa.
Ini terjadi karena didalam pikiran polisi sudah ada 'profile' (gambaran) bahwa semua yang berkulit hitam itu adalah kriminal. Dan menghadapi kriminal, urusannya adalah tembak dulu sebelum mereka melawan dan membahayakan. Bahkan polisi yang berkulit hitam pun punya pikiran demikian.
Salah satu elemen paling dasar rasisme adalah persoalan 'merasa berhak' (entitlement). Ini yang menjadi pembeda dari mereka yang tidak memiliki hak. Ketimpangan antara berhak dan tidak berhak ini, yang jika dipadukan dengan perbedaan entah warna kulit, bentuk rambut, bentuk mata, dll. yang membuat rasisme. dan rasisme bekerja membentuk gambaran (profile) yang akan mendiskualifikasi orang sebagai ras yang lebih rendah, atau secara moral tidak mampu.
Di Amerika, banyak orang kulit hitam menjadi korban penembakan oleh polisi. Persoalan yang remeh, seperti lampu belakang mobil tidak menyala, bisa mencabut nyawa.
Ini terjadi karena didalam pikiran polisi sudah ada 'profile' (gambaran) bahwa semua yang berkulit hitam itu adalah kriminal. Dan menghadapi kriminal, urusannya adalah tembak dulu sebelum mereka melawan dan membahayakan. Bahkan polisi yang berkulit hitam pun punya pikiran demikian.

Demikian gampangnya nyawa orang kulit hitam melayang di tangan polisi (560 orang lebih hanya dalam tahun ini di seluruh Amerika!) membuat orang kulit hitam membuat gerakan 'Black Lives Matter' (Hidup orang Kulit Hitam itu ada harganya!). Mereka rajin melakukan demo dan menuntut politisi untuk menjawab persoalan hidup orang kulit hitam.
Oleh mereka yang anti, yang kebanyakan kulit putih, gerakan ini diimbangi dengan slogan 'All Lives Matter" (Semua hidup berharga). Namun bukan disitu persoalannya. Benar bahwa semua hidup berharga. Benar bahwa kadang orang kulit putih pun ditembak polisi, walaupun sangat jarang.
Persoalannya adalah secara diam-diam mereka yang berkulit putih merasa berhak. Diakui atau tidak mereka punya keistimewaan (privilege) untuk tidak di kenai prasangka apapun. Hanya karena warna kulitnya. Inilah pondasi dari rasisme itu.
"Sebagai orang Jawa, Anda tidak akan berurusan dengan polisi selebar apapun Anda membentangkan spanduk ‘Referendum untuk Jogja’ atau ‘Khilafah menyelesaikan semua problem mahasiswa dari skripsi hingga perasaan.’ Tak akan ada yang mengumpat ‘Jawa!’ atau ‘dasar Muslim!’ sekalipun Anda merusak fasilitas umum dan memblokir jalan Solo."
Sebagai orang kulit putih, Anda boleh mengendarai mobil tanpa lampu depan. Anda mungkin tetap akan dihentikan polisi dan ditilang, tapi tidak akan ditembak atau dikeluarkan dari mobil dan diborgol.
Rasisme ini juga yang terjadi di Yogyakarta pada mahasiswa Papua kemarin itu. Gubernur DIY meminta mahasiswa Papua yang separatis untuk tidak tinggal di Yogya.
Sebelumnya, Prabukusumo, yang masih bersaudara kandung dengan Gubernur DIY itu juga menulis tanggapan yang sangat 'patronizing' yang menganggap dirinya (dan kaumnya) sebagai saudara tua. Dia menuntut mahasiswa Papua berlaku menurut kebudayaan setempat, yang tentu saja menurut pikirannya lebih adiluhung.
Yang paling jelas dari rasisme adalah standar ganda. Saya boleh melakukannya, tapi kamu tidak. Ada hak yang tidak sama disini. Orang Yogya bisa menuntut referendum, tapi orang Papua tidak. Orang Yogya tidak kena tuduhan separatis kalau minta berpisah dari Republik Indonesia. Tapi kalau yang meminta itu adalah orang Aceh, Dayak, atau Papua, dengan segera cap separatis itu ditempelkan.
Soalnya bukan hanya soal politik saja. Tetapi juga soal hidup sehari-hari. Orang Papua tidak boleh naik motor bertiga (Tidak jadi soal kalau saya yang melakukan). Orang Papua tukang mabuk (Oh, nggak apa-apa kalau orang sini yang melakukan. Hello, lapen?). Orang Papua suka kekerasan (bagaimana dengan geng-geng motor yang dengan seenak hati menyabet orang dengan pedang itu?). Dan seterusnya, dan seterusnya ...
Oleh mereka yang anti, yang kebanyakan kulit putih, gerakan ini diimbangi dengan slogan 'All Lives Matter" (Semua hidup berharga). Namun bukan disitu persoalannya. Benar bahwa semua hidup berharga. Benar bahwa kadang orang kulit putih pun ditembak polisi, walaupun sangat jarang.
Persoalannya adalah secara diam-diam mereka yang berkulit putih merasa berhak. Diakui atau tidak mereka punya keistimewaan (privilege) untuk tidak di kenai prasangka apapun. Hanya karena warna kulitnya. Inilah pondasi dari rasisme itu.
"Sebagai orang Jawa, Anda tidak akan berurusan dengan polisi selebar apapun Anda membentangkan spanduk ‘Referendum untuk Jogja’ atau ‘Khilafah menyelesaikan semua problem mahasiswa dari skripsi hingga perasaan.’ Tak akan ada yang mengumpat ‘Jawa!’ atau ‘dasar Muslim!’ sekalipun Anda merusak fasilitas umum dan memblokir jalan Solo."
Sebagai orang kulit putih, Anda boleh mengendarai mobil tanpa lampu depan. Anda mungkin tetap akan dihentikan polisi dan ditilang, tapi tidak akan ditembak atau dikeluarkan dari mobil dan diborgol.
Rasisme ini juga yang terjadi di Yogyakarta pada mahasiswa Papua kemarin itu. Gubernur DIY meminta mahasiswa Papua yang separatis untuk tidak tinggal di Yogya.
Sebelumnya, Prabukusumo, yang masih bersaudara kandung dengan Gubernur DIY itu juga menulis tanggapan yang sangat 'patronizing' yang menganggap dirinya (dan kaumnya) sebagai saudara tua. Dia menuntut mahasiswa Papua berlaku menurut kebudayaan setempat, yang tentu saja menurut pikirannya lebih adiluhung.
Yang paling jelas dari rasisme adalah standar ganda. Saya boleh melakukannya, tapi kamu tidak. Ada hak yang tidak sama disini. Orang Yogya bisa menuntut referendum, tapi orang Papua tidak. Orang Yogya tidak kena tuduhan separatis kalau minta berpisah dari Republik Indonesia. Tapi kalau yang meminta itu adalah orang Aceh, Dayak, atau Papua, dengan segera cap separatis itu ditempelkan.
Soalnya bukan hanya soal politik saja. Tetapi juga soal hidup sehari-hari. Orang Papua tidak boleh naik motor bertiga (Tidak jadi soal kalau saya yang melakukan). Orang Papua tukang mabuk (Oh, nggak apa-apa kalau orang sini yang melakukan. Hello, lapen?). Orang Papua suka kekerasan (bagaimana dengan geng-geng motor yang dengan seenak hati menyabet orang dengan pedang itu?). Dan seterusnya, dan seterusnya ...
Sumber: Made Supriatma
0 Response to "Rasisme: Banyak Orang Tidak Merasa Bahwa Dirinya Rasis"
Poskan Komentar