Indonesia Menggugat

Indonesia ini negara gugat menggugat. Dari gugat cerai selebritis, gugat pilkada-pilpres, gugat pencemaran nama baik, dan gugat-menggugat lain. Mungkin itu tulah turun temurun karena Bung Karno pernah menulis pledoi "Indonesia Menggugat" tahun 1930-an awal. Hehehe.
indonesia menggugat

Karena gugat menggugat ini sudah jadi trend, maka apapun yang bisa digugat ya bakal digugat, entah itu serius atau sekadar iseng. Di salah satu sudut, ada gugatan tentang keabsahan peringatan maulid Nabi hingga tahlilan, ada juga gugatan sejarah yang menghasilkan kesimpulan Borobudur peninggalan Nabi Sulaiman, ada juga gugatan La Nyalla Mattaliti atas Menpora yang dianggap zalim. Jika belum cukup ada juga gugatan kelayakan Kartini sebagai pahlawan nasional. Iseng ataupun serius, nggak penting, lebih penting gaya menggugat.
iri hati

Nah, yang terakhir ini saya baca di hidayatullah.co.... Intinya menggugat keabsahan Kartini sebagai pahlawan nasional. Pokok perkaranya: masih banyak pahlawan perempuan yang lebih heroik di bandingkan Kartini yang "cuma" curhat ala ABG. Curhatnya ke bule kafir, lagi. Lihatlah perlawanan Tjoet Njak Dhien dan pahlawan perempuan lain yang lebih heroik dan berdarah-darah. Ini kata penulis artikel itu, lho. Kartini lalu dihadap-hadapkan pada kiprah perempuan lain yang telah memainkan fase perjuangan kebangsaan. Intinya, banyak yang lebih jos dibanding anak bangsawan yang gemulai itu. Saya sih nggak tahu apa penulisnya sudah pernah membaca kumpulan surat Kartini ke Abendanon yang--bagi saya--lebih dari sekadar curhat. 

Membaca Kartini, bagi saya, bukan sekadar membaca kumpulan surat layaknya kita membaca sms atau pesan berantai di blackberry. Surat yang ditulis di atas kertas adalah gambaran keseriusan, pantulan watak, dan magma gagasan. Lebih dari itu, surat adalah ranah pribadi di mana hanya orang tertentu yang kita percayai untuk membacanya. Nah, Kartini hadir di saat Politik Etis masih menjadi embrio. Ia ada di zaman tatkala inlander--apalagi cewek--dianggap sebagai separuh manusia. Ia lahir di zaman ketika bangsawan Jawa harus menyusu kebijakan pada bule totok. Ia gelisah di saat perempuan (dan laki-laki, tentu saja) tak punya akses pendidikan. Dan, kelebihan Kartini ada pada semangatnya mencatat ide dan keinginannya via surat dan kemauannya menjelajahi segenap ilmu pengetahuan dan keikhlasannya dipoligami.

Membaca Kartini secara utuh saya kira lebih manusiawi daripada sekadar membadingkannya dengan perempuan pahlawan lainnya. Apalagi tiba-tiba membandingkannya dengan Sayyidah Khadijah al-Kubra, Sayyidah Aisyah, dan Sayyidah Fathimah Az-Zahra, sekaligus meredahkan Kartini. Ya, itu sama halnya kita secara acak membandingkan Pele dengan Bung Karno, Maradona dengan Rudi Hartono, Mike Tyson dengan Zainuddin MZ, maupun Pramoedya Ananta Toer dengan Nelson Mandela. Mengapa kurang tepat? Karena masing-masing hidup di zamannya, punya dinamika yang berbeda, dan mereka (di)hadir(kan) dengan kiprahnya masing-masing.

Jadi, tenang saja, soal gugat menggugat, lagi-lagi kita nggak perlu takut kekurangan stok penggugat. Kalaupun ada gugatan atas status Kartini-an ini, ya saya jawab: Kartini wafat di usia muda, 25 tahun, andaikata Allah memanjangkan usianya, bukan tidak mungkin jika ia berhasil melaksanakan cita-cita yang terpendam dalam surat-suratnya, dan membawa perubahan besar pada dasawarsa berikutnya.

Bukan tulisan saya, tapi punya mbah Rijal Mumazziq
Sumber: Rusdian Malik.

loading...
Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Share on LinkedIn

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Indonesia Menggugat"

Post a Comment

Pembaca yang Bijak adalah Pembaca yang selalu Meninggalkan Komentarnya Setiap Kali Membaca Artikel. Diharapkan Komentarnya Yah.....