Feminisme di Indonesia
7.5.15 kehidupan, sejarah, unik

Sebagai sebuah gerakan feminisme di Indonesia, gerakan ini sudah ditemui semenjak 1912 dengan nama perkumpulan Putri Merdeka yang mempunyai afiliasi dengan Boedi Utomo, yang juga menyimbolkan Kartini. Kelompok ini didominasi oleh perempuan-perempuan priyayi, memfokuskan diri pada pendidikan untuk anak perempuan, kursus-kursus rumah tangga, pembuatan baju, dan sebagainya.

Setelah kemerdekaan Indonesia, kelompok ini memfokuskan diri pada isuisu kesetaraan dalam merevisi Undang-Undang Perkawinan, hak pendidikan, dan kondisi pekerja perempuan. Kelompok yang memayungi hampir seluruh organisasi perempuan pada tahun 1950-an adalah Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Kelompok perempuan yang sangat dikenal saat itu adalah Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). RA. Kartini yang sempat dijuluki feminis liberal adalah salah satu tokoh feminis saat itu, yang selalu menyikapi isu-isu perempuan dengan tulisan-tulisannya seperti sikapnya terhadap perkawinan dengan sinis dan menyatakan perang terhadap poligami. Sayangnya hanya sedikit orang yang memahami, bahwa gerakan perempuan di Indonesia tersebut ternyata amat berkaitan dengan sejarah Hari Ibu yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia.
Di masa itu, posisi perempuan dalam keluarga dan masyarakat masih sangatlah subordinat. Anak perempuan misalnya, biasanya dijodohkan oleh orang tuanya dan tidak memiliki posisi tawar yang kuat dalam perkawinan. Suami dengan mudah melakukan poligami dan istri hanya bisa pasrah tak mampu memperjuangkan hak-haknya. Selain itu kawin siri pun marak dilakukan. Itulah mengapa lalu ada beberapa perempuan yang pada sekitar tahun 1920-1930-an bertekad memperjuangkan Undang-Undang Perkawinan dan gerakan anti poligami.

Jika dikategorisasi secara periodik, gerakan feminisme Indonesia punya empat gelombang, yaitu:
Pertama, dirintis oleh individu-individu yang tak terlembaga dan terorganisasi secara sistemik. Mereka bergerak sendiri-sendiri. Mungkin karena hambatan dan keterbatasan, perempuan sekuler seperti RA Kartini, berlangsung semenjak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Tokoh-tokoh perempuan Muslim yang muncul pada periode ini, antara lain Rohana Kuddus (Minangkabau), Rahmah el-Yunusiyah, dan lain-lain. Mereka telah mendirikan pesantren khusus perempuan (ma’had li al-banat). Di pesantren, remaja-remaja putri diajari baca-tulis. Telah disadari, belajar membaca dan menulis bukan hanya hak khusus kaum laki-laki.
Tokoh-tokoh perempuan saat itu bukan hanya menuntut perbaikan pendidikan perempuan, tapi juga telah menggugat praktek poligami, pernikahan dini, dan perceraian yang sewenang-wenang. Gerakan individual yang baru dalam tahap rintisan ini tak bisa diharapkan punya pengaruh signifikan. Perjuangan mereka seperti berteriak di tengah belantara dunia patriakhi.
Kedua, institusionalisasi gerakan dengan munculannya organisasiorganisasi perempuan seperti Persaudaraan Istri, Wanita Sejati, Persatuan Ibu, Puteri Indonesia, Muslimat NU dan termasuk di antaranya Aisyiah yang baru menggaung semenjak menjadi organisasi otonom Muhammadiyah, yang banyak bergerak dalam peningkatan status wanita Islam maupun untuk peningkatan martabat wanita Indonesia.96 Ini berlangsung antara akhir 1920-an hingga akhir 1950-an. Isu yang berkembang masih sama dengan sebelumnya, yaitu emansipasi perempuan di berbagai bidang, termasuk penolakan poligami, pembenahan pendidikan, dan sebagainya. Pada periode ini, Undang-Undang Keluarga pertama lahir yaitu UU No. 22 tahun 1946. Salah satu pasalnya menyebut bahwa perkawinan, perceraian, dan rujuk harus dicatatkan. Penumbuhan gagasan ke dalam sebuah Undang-Undang, sungguh suatu terobosan baru.
Ketiga, emansipasi perempuan dalam pembangunan nasional yang berlangsung sejak 1960-an hingga 1980-an. Dengan makin baik pendidikan perempuan, sejumlah perempuan mulai terlibat dalam proses pembangunan yang digalakkan Orde Baru. Perempuan bukan hanya diakui kemampuannya, tetapi juga diajak aktif dalam mengisi pembangunan.
Ada banyak tokoh perempuan Islam yang lahir pada periode ini, misalnya Zakiah Drajat. Ormas keagamaan tradisonal seperti NU memasukkan perempuan dalam komposisi Syariah NU, seperti Nyai Fatimah, Nyai Mahmudah Mawardi, Nyai Khoriyah Hasyim. Hanya saja, gerakan perempuan pada periode ini belum maksimal. Namun yang perlu dicatat, pada periode ini telah lahir Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Di dalam Undang-Undang ini, poligami makin dibatasi. Laki-laki tak bisa mempraktekkan poligami tanpa mendapat izin isteri.
Keempat, diversifikasi gerakan hingga ke level terbawah seperti pesantren. Ini berlangsung antara 1990-an hingga sekarang. Pada era ini terjadi sinergi antara feminis sekuler dan feminis Islam. Feminis sekuler seperti Saparinah Sadli, Wardah Hafidz, Nursyahbani Katjasungkana, Yanti Mukhtar dan Gadis Arivia, yang punya hambatan teologis dalam gerakan, mendapat injeksi moral- keagamaan dari para feminis Muslim. Begitu juga sebaliknya; para feminis Muslim mendapat pengayaan wacana dari tokoh-tokoh feminis sekuler. Mereka berjejaring dan bersinergi dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Muara yang hendak dituju sama, yaitu penguatan civil society, demokratisasi, dan penegakan HAM, termasuk keadilan dan kesetaraan gender. Prestasi yang perlu dicatat pada periode ini adalah lahirnya Undang-Undang No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Undang-Undang ini menegaskan bahwa kekerasan bukan hanya fisik, tapi juga psikis, seksual, atau penelantaran (Bab III Pasal 5).
Feminisme yang berbasis pada pemahaman keagamaan (baca: reinterpretasi dan dekonstruksi bias patriarkhi dalam ajaran Islam) yang dewasa ini di Indonesia telah berkembang dalam bentuk PSW (Pusat Studi Wanita) pada UIN/IAIN/STAIN, kajian-kajian lembaga pemberdayaan perempuan pada organisasi-organisasi masyarakat maupun pada tingkat pemerintahan seperti devisi pengarusutamaan gender pada Kementerian Agama.
Munculnya pusat-pusat studi ini sendiri kemungkinan besar adalah tindak lanjut dari ide radikal feminis yang menginginkan dibentuknya kajian khusus tentang wanita dan juga dibongkarnya tradisi-tradisi dan teks-teks keagamaan yang tidak mendukung terciptanya keadilan gender. Lalu juga stand-point feminis yang berupaya memasukkan suara perempuan dalam produksi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Yang tak kalah spektakuler adalah gerakan sekelompok feminis Muslim yang merumuskan Counter Legal Draft (CLD) terhadap Kompilasi Hukum Islam (KHI) hasil produk Instruksi Presiden No.1 tahun 1991. Bagi mereka, Kompilasi Hukum Islam (KHI) masih mengidap cara pandang dan filosofi patriakrhi. Karena itu, perlu revisi agar selaras dengan semangat Islam yang menuntut keadilan dan kesetaraan.
Para feminis Muslim yang fenomenal dalam gelombang ini, antara lain Sinta Nuriyah Wahid, Lies Marcoes-Natsir, Farha Cicik, Siti Musdah Mulia, Maria Ulfa Anshar, dan Ruhainy Dzuhayatin. Yang menarik, tak seperti periode sebelumnya, gelombang terakhir ini tak lagi (hanya) diurus kaum perempuan, tetapi juga disokong secara moralintelektual oleh feminis laki-laki, seperti Mansur Fakih, Nasaruddin Umar, Budhy Munawar-Rachman, dan KH. Husein Muhammad. Kehadiran mereka ikut menambah amunisi bagi kokohnya gerakan perempuan di Indonesia.
Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Share on LinkedIn
0 Response to "Feminisme di Indonesia"
Post a Comment
Pembaca yang Bijak adalah Pembaca yang selalu Meninggalkan Komentarnya Setiap Kali Membaca Artikel. Diharapkan Komentarnya Yah.....